Taqiyyah Dalam Agama Syi’ah
Permasalahan
Taqiyyah
penghalang pertama bagi terwujudnya solidaritas yang benar lagi tulus
antara kita dan mereka ialah apa yang mereka sebut dengan At
Taqiyyah[1]. Taqiyyah
adalah suatu keyakinan dalam agama yang membolehkan bagi mereka untuk
berpenampilan di hadapan kita dengan penampilan yang menyelisihi hati nurani
mereka. Dengan demikian orang yang lugu dari kalangan kita (Ahlusunnah)
akan tertipu dengan penampilan mereka yang mengesankan ingin mengadakan
solidaritas dan pendekatan, padahal sebenarnya mereka tidaklah menginginkan,
juga tidak rela, dan tidak akan menerapkan hal itu, kecuali bila hal itu hanya
dilakukan oleh satu pihak saja (yaitu pihak Ahlusunnah), sedangkan pihak
lain tetap berada dalam kenyelenehannya tidak bergeser sedikit pun walau hanya
satu rambut (yaitu Syiah). Walaupun para pelaku peran “Taqiyyah” dari mereka
berhasil meyakinkan kita bahwa mereka telah maju beberapa langkah mendekat
dengan kita, maka sesungguhnya masyarakat Syi’ah seluruhnya; pemuka mereka dan
masyarakat awamnya akan tetap terpisah dari para pemeran sandiwara ini, dan
tidak akan pernah menerima apapun apa yang dikatakan oleh para perwakilan yang
telah memerankan peranan mereka.
Di antaranya
hadits yang mereka yakini bahwa Imam kelima mereka, yaitu Muhammad Al Baqir
meriwayatkan suatu hadits yang di antara bunyinya:
“At Taqiyyah
ialah kebiasaanku dan kebiasaan bapak-bapakku, dan tidak beriman orang yang
tidak bertaqiyyah.” (Al Ushul Minal Kafi, bab: At Taqiyyah jilid: 2 hal:
219).
Syaikh ahli
hadits mereka Muhammad bin Ali bin Al Hasan bin Babuyah Al Kummi telah
menyebutkan dalam sebuah risalahnya yang berjudul Al I’tiqadaat:
“Bertaqiyyah
wajib hukumnya, barang siapa yang meninggalkannya, maka ia bagaikan orang yang
meninggalkan sholat.” Ia juga berkata: “Bertaqiyyah wajib hukumnya, dan tidak boleh
dihapuskan hingga datang sang penegak keadilan (imam mahdi -pent), dan barang
siapa yang meninggalkannya sebelum ia datang, maka ia telah keluar dari agama
Allah Ta’ala, dan dari agama Al Imamiyyah, serta menentang Allah, Rasul-Nya dan
para Imam.” (Baca risalah Al I’tiqadaat, pasal At Taqiyyah, terbitan
Iran tahun: 1374 H).
Celaan Terhadap Al
Quran
Sampai pun Al
Quran Al Karim, yang semestinya menjadi rujukan penyatu antara kita dan mereka
dalam upaya pendekatan diri kepada persatuan, akan tetapi ternyata
prinsip-prinsip agama mereka tegak di atas penakwilan ayat-ayatnya dan
memalingkan artinya kepada pemahaman yang tidak pernah dipahami oleh para
sahabat radhiallahu ‘anhum dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam
, dan kepada pemahaman yang tidak pernah dipahami oleh para imam kaum
muslimin semoga Allah merahmati mereka- dari generasi yang padanya diturunkan Al
Quran.
Bahkan salah
seorang ulama terkemuka kota Najef, yaitu Haji Mirza Husain bin Muhammad Taqi An
Nuri At Thobarsy, seorang figur yang mereka agungkan sampai-sampai ketika ia
wafat pada tahun 1320 H, mereka menguburkannya di kompleks pemakaman Al
Murtadhowi di kota Najef, di singgasana kamar Banu Al Uzma binti Sultan An
Nashir Lidinillah, yang berupa teras kamar yang menghadap ke Kiblat yang
terletak di sebelah kanan setiap orang yang masuk ke halaman Al Murtadhowi dari
pintu kiblat di kota Najef Al Asyraf. Suatu tempat paling suci bagi mereka.
Ulama kota Najef ini pada tahun 1292 H di saat ia berada di kota Najef di sisi
kuburan yang dinisbatkan kepada Imam Ali -semoga Allah memuliakan wajahnya-
menuliskan sebuah buku yang ia beri judul: “Fashlul Khithab Fi Itsbati
Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab.” (Makna judul buku ini: “Keterangan Tuntas
Seputar Pembuktian Terjadinya Penyelewengan Pada Kitab Tuhan Para Raja” -pent).
Ia mengumpulkan beratus-ratus nukilan dari ulama-ulama dan para mujtahid Syi’ah
di sepanjang masa yang menegaskan bahwa Al Quran Al Karim telah ditambah dan
dikurangi.
Buku karya At
Thobarsy ini telah diterbitkan di Iran pada tahun 1289 H, dan kala itu buku ini
memancing terjadinya kontroversi. Hal ini karena dahulu mereka menginginkan agar
upaya menimbulkan keraguan tentang keaslian Al Quran hanya diketahui secara
terbatas oleh kalangan tertentu dari mereka, dan tersebar di beratus-ratus
kitab-kitab mereka, dan agar hal ini tidak dikumpulkan dalam satu buku yang
dicetak dalam beribu-ribu eksemplar dan akhirnya dibaca oleh musuh mereka,
sehingga buku tersebut menjadi senjata atas mereka yang dapat disaksikan oleh
setiap orang. Tatkala para tokoh mereka menyampaikan kritikan ini, penyusun
kitab ini menentang mereka, dan kemudian ia menuliskan kitab lain yang ia beri
judul: Raddu Ba’dhis Syubhaat ‘An Fashlil Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab
Rabbil Arbaab (Makna judul buku ini: Bantahan Terhadap Sebagian Kritikan
Kepada kitab “Keterangan Tuntas seputar pembuktian terjadinya penyelewengan
pada kitab Tuhan para raja”. -pent). Ia menuliskan pembelaan ini pada akhir
hayatnya, yaitu dua tahun sebelum ia wafat.
Sungguh kaum
Syi’ah telah memberikan penghargaan kepadanya atas jasanya membuktikan bahwa Al
Quran telah mengalami penyelewengan, yaitu dengan menguburkannya di tempat
istimewa dari kompleks pemakaman keturunan Ali di kota Najef. Dan di antara hal
yang dijadikan bukti oleh tokoh kota Najef ini bahwa telah terjadi kekurangan
pada Al Quran, ialah pada hal: 180, ia menyebutkan satu surat yang oleh kaum
Syi’ah disebut dengan nama “Surat Al Wilayah”, pada surat ini ditegaskan
kewalian sahabat Ali:
يأيها الذي آمنوا آمنوا بالنبي والولي اللذين بعثناهما
يهديانكم إلى الصِّراط المستقيم …إلخ
“Wahai
orang-orang yang beriman, berimanlah engkau dengan seorang nabi dan wali yang
telah Kami utus guna menunjukkan kepadamu jalan yang
lurus…dst.” [2]
Demikianlah
surat Syi’ah, gaya bahasanya buruk, lucu lagi tidak fasih, ditambah lagi
kesalahan fatal dalam ilmu nahwu, membuktikan bahwa itu adalah surat non Arab,
hasil rekayasa orang-orang non Arab Persia yang dungu, sehingga mereka
mempermalukan diri sendiri dengan menambahkan surat ini. Inilah “Al Quran” yang
dimiliki kaum Syi’ah, terdapat kesalahan, dengan gaya bahasa non Arab dan
menyalahi ilmu nahwu! Adapun Al Quran milik kita –Ahlusunnah wal Jama’ah-
adalah Al Quran dengan bahasa Arab yang nyata tidak ada kesalahan, sarat dengan
rasa manis, dan keindahan, bak sebuah pohon yang penuh dengan buah, dan akarnya
menghunjam ke dalam bumi, sebagai petunjuk bagi orang yang beriman, penyembuh,
sedangkan orang-orang yang tidak beriman telinga mereka tuli dan mata mereka
buta.
Dan
seorang yang dapat dipercaya, yaitu Ustadz Muhammad Ali Su’udy -beliau adalah
kepala tim ahli di Departemen Keadilan di Mesir, dan salah satu murid terdekat
Syaikh Muhammad Baduh- berhasil menemukan “Mushaf Iran” yang masih dalam bentuk
manuskrip yang dimiliki oleh orientalis Brin, kemudian beliau menukil surat
tersebut dengan kamera. Di atas teks Arabnya terdapat terjemahan dengan bahasa
Iran (Persia), persis seperti yang dimuat oleh At Thobarsy dalam bukunya:
“Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab.”
Surat
ini juga dapat ditemukan dalam buku mereka yang berjudul “Dabistan
Mazahib” dengan bahasa Iran (Persia), hasil karya Muhsin Fani Al Kasymiri,
buku ini dicetak di Iran dalam beberapa edisi. Surat palsu ini juga dinukilkan
oleh seorang pakar sekaligus orientalis yang bernama Noldekh dalam bukunya
“Tarikh Al Mashohif” (Sejarah Mushaf-mushaf) jilid: 2 hal: 102, dan yang
dipublikasikan oleh Harian Asia-Prancis pada tahun 1842 M, pada hal:
431-439.
Sebagaimana tokoh kota Najef ini berdalil dengan surat Al Wilayah atas
terjadinya perubahan pada Al Quran, ia juga berdalil dengan riwayat yang
termaktub pada hal: 289, dari kitab “Al Kafi” (Judul lengkap Kitab ini
ialah: Al Jami’ Al Kafi, karya Abu Ja’far Ya’qub Al Kulaini Ar Razi)
edisi tahun 1287 H, Iran -kitab ini menurut mereka sama kedudukannya dengan
“Shohih Bukhori” menurut kaum Muslimin. Pada halaman tersebut dalam kitab
Al Kafi termaktub sebagaimana berikut:
“Beberapa ulama kita meriwayatkan dari Sahl bin Ziyad, dari Muhammad bin
Sulaiman, dari sebagian sahabatnya, dari Abu Hasan ‘alaihis salaam -maksudnya
Abu Hasan kedua, yaitu Ali bin Musa Ar Ridha, wafat pada thn 206- ia menuturkan:
“Dan aku berkata kepadanya: Semoga aku menjadi penebusmu, kita mendengar
ayat-ayat Al Quran yang tidak ada pada Al Quran kita sebagaimana yang kita
dengar, dan kita tidak dapat membacanya sebagaimana yang kami dengar dari anda,
maka apakah kami berdosa? Maka beliau menjawab: Tidak, bacalah sebagaimana yang
pernah kalian pelajari, karena suatu saat nanti akan datang orang yang mengajari
kalian.”
Tidak
diragukan bahwa ucapan ini merupakan hasil rekayasa kaum Syi’ah atas nama imam
mereka Ali Bin Musa Ar Ridha. Walau demikian ucapan ini merupakan fatwa bahwa
penganut Syi’ah tidak berdosa bila membaca Al Quran sebagaimana yang dipelajari
oleh masyarakat umum dari Mushaf Utsmani, kemudian orang-orang tertentu
dari kalangan Syi’ah akan saling mengajarkan kepada sebagian lainnya hal-hal
yang menyelisihi Mushaf tersebut, berupa hal-hal yang mereka yakini ada atau
pernah ada pada mushaf-mushaf para imam mereka dari kalangan Ahlul Bait
(keturunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam
).
[1] At Taqiyyah ialah seseorang
menampakkan sikap yang tidak sesuai dengan isi batinnya. Mereka dalam hal ini
berdalilkan dengan beberapa hadits, di antaranya hadits yang mereka sebut-sebut
dari Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu yang pada hadits ini -menurut
anggapan mereka- beliau berkata: “At Taqiyyah termasuk amalan seorang mukmin
yang paling utama, dengannya ia menjaga diri dan saudaranya dari tindakan
orang-orang jahat.” (Baca: Tafsir Al Askari, hal: 162 Pustaka
Ja’fary, India).[2] Kelanjutan surat ini -sebagaimana dapat anda lihat pada halaman
selanjutnya- sebagai berikut: “Seorang Nabi dan wali sebagian mereka dan
sebagian lainnya adalah sama, sedangkan Aku adalah Yang Maha Mengetahui dan Yang
Maha Mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang memenuhi janji Allah, mereka akan
mendapatkan surga yang penuh dengan kenikmatan. Sedangkan orang-orang yang bila
dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka mendustakan ayat-ayat Kami,
sesungguhnya mereka akan mendapatkan kedudukan yang besar dalam neraka Jahanam.
Bila diseru kepada mereka: Manakah orang-orang yang berbuat lalim lagi
mendustakan para rasul: apa yang menjadikan mereka menyelisihi para rasul??
melainkan
dengan kebenaran, dan tidaklah Allah akan menampakkan mereka hingga waktu yang
dekat. Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sedangkan Ali termasuk para
saksi.”